Siapakah yang Paling Berhak Menilai Keislaman Seseorang?
Pertanyaan ini muncul dari seorang teman, beberapa saat setelah pemerintah (Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung) menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah. Menurut sang teman, apapun alasannya, pemerintah telah melakukan intervensi terhadap keimanan rakyatnya. Meski tidak secara tegas melarang kehadiran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), SKB tersebut telah menempatkan JAI sebagai organisasi yang perlu diawasi gerak-geriknya. Ini tentu saja membuat para pengikut Ahmadiyah menjadi tidak bebas, bahkan dalam melaksanakan ibadah sekalipun.
SKB itu, juga akan membuat orang-orang yang merasa “paling Islam” menjadi pengawas orang-orang Ahmadiyah. Padahal, lagi-lagi, siapa yang paling kompeten menilai kadar keislaman seseorang? Pemerintahkah? Atau Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Kalau ya, bisakah kedua lembaga itu menunjukkan surat mandat dari Tuhan bahwa mereka mempunyai hak untuk menentukan keislaman seseorang? Karena rasanya, hanya Tuhan yang boleh menilai hal itu, apalagi bila menyangkuthablumminallah .
Yang jelas, pemerintah telah menyerah pada keinginan salah satu kelompok masyarakatnya yang selalu memaksakan kehendak, dan mengorbankan kelompok masyarakat lainnya, yang mestinya sama-sama diayomi. Ironisnya, pemerintah yang telah mengeluarkan keputusan tersebut, bukanlah pemerintah dari suatu negara teokratis. Melainkan pemerintah yang undang-undang dasarnya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan yang dasar negaranya menjamin keberagaman.
Jangan lagi berharap bahwa pemerintah akan membela golongan masyarakat yang lemah. Jangan lagi berharap bahwa pemerintah akan menjadi wasit yang adil dalam menengahi berbagai perbedaan. Pemerintahan yang sekarang adalah pemerintahan yang tidak malu-malu lagi melampaui batas wewenangnya, tetapi lupa pada kewajiban yang sebenarnya, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan menjamin rasa aman rakyatnya. Setelah kenaikan BBM yang membuat napas rakyat semakin tersekat, pemerintah mengeluarkan SKB yang membuat salah satu kelompok masyarakat pencinta damai kini dilanda ketakutan berkepanjangan.
Pencinta Damai, seperti itulah sebenarnya orang-orang Ahmadiyah. Mereka tak pernah menebar kebencian, apalagi memerangi golongan lain yang tak sepaham dengan mereka. Pun, jangan lupa, merekalah yang menerjemahkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa di dunia, sehingga dunia pun (terutama dunia Barat) menjadi lebih mengenal Islam. Mereka juga mengakui bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah, menjalankan sholat lima waktu dan berupaya beramal shaleh sesuai tuntunan Al-Quran. Mereka bukan Islam? Hanya Allah yang berhak menjawabnya.
Saya khawatir, setelah SKB tentang Ahmadiyah, pemerintah akan menerbitkan lagi SKB tentang golongan Islam lainnya yang tidak disukai para fundamentalis. Lalu penafsiran tentang Islam pun akan menjadi tunggal, seperti pemerintah Orde Baru yang memaksakan penafsiran tunggal terhadap Pancasila. Dan, kali ini lebih parah lagi, karena bisa-bisa pemerintah akan terjebak untuk meninggalkan Pancasila, lantas menggantinya dengan Islam berdasarkan penafsiran kelompok tertentu.
Mudah-mudahan kekhawatiran ini tidak akan terjadi, karena saya yakin di negeri ini masih banyak tokoh masyarakat yang berakal sehat, dan tak tinggal diam. Kini mari kita berserah diri kepada Allah. Karena arti Islam, selain kedamaian dan keselamatan, juga mengandung arti berserah diri secara total kepadaNya. Hanya Dialah Hakim Yang Maha Adil, yang telah menurunkan ajaran Islam sebagai rahmat atau karunia bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin). Sekali lagi, BAGI SELURUH ALAM, BUKAN HANYA BAGI ORANG ISLAM ATAU HANYA BAGI ORANG-ORANG YANG MERASA PALING ISLAM.
Billy Soemawisastra.
Sumber : https://jagatalit.com/2008/06/13/siapakah-yang-paling-berhak-menilai-keislaman-seseorang/
0 Response to "Siapakah yang Paling Berhak Menilai Keislaman Seseorang?"
Post a Comment
Monggo Berkomentar untuk Kemajuan yang Lebih Baik